Nama Paidi mungkin belum
familiar di telinga masyarakat Indonesia. Namun, kisahnya bisa menjadi
inspirasi untuk banyak orang.
Sosok Paidi mulanya hanya
pemulung yang tinggal di Desa Kepel, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun. Tak
dilirik orang lain, dan hanya tinggal beralaskan tanah.
Nasib memang tak ada yang
tahu. Tiga tahun terakhir hidupnya berubah. Memiliki penghasilan yang layak,
serta dipandang oleh orang banyak.
Nasibnya itu berubah
menjadi baik ketika ia mulai menanam dan membudidayakan umbi porang. Ide usaha
umbi porang ini ia dapat dari teman satu panti asuhannya di Desa Klangon,
Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, di tahun 2009 silam.
Mencoba menelusuri porang
lebih dalam, Paidi dengan bermodalkan Google terus belajar bagaimana caranya
membudidayakannya. Ternyata, Paidi tertarik untuk mencoba menanam porang
menjadi bahan makanan dan kosmetik yang banyak dibutuhkan perusahaan besar di
dunia.
Namun, tak semulus itu.
Paidi harus memutar otaknya kembali untuk membuat porang tumbuh tanpa naungan
pohon lain. Sebab, jika di bawah naungan pohon lain, panen porang membutuhkan
waktu yang lama hingga tiga tahun.
Saat hendak mengembangkan
porang di kampung halamannya, Paidi mengalami kendala lantaran kondisi lahan
pertaniannya berbukit-bukit. Padahal, rata-rata petani porang di wilayah lain
mengembangkan tanaman itu di bawah naungan pohon keras seperti pohon jati.
Berbekal pencarian di
Google, Paidi mendapatkan banyak ilmu tentang bagaimana mengembangkan porang di
lahan pertanian terbuka.
Singkat cerita, Paidi pun
membuat revolusi terbuka untuk memudahkan proses tanam. Pasalnya, apabila
menggunakan pola tanam konvensional, tidak akan bisa mengejar kebutuhan dunia.
Terlebih lagi melihat pabrik pengelola porang makin menjamur dengan total
kebutuhan sehari bisa mencapai 200 ton.
Kini, Paidi mengaku telah
berhasil mengantongi uang lebih dari Rp1 miliar. Uang tersebut murni dari
pengembangan porang di Desa Kepel.
Bukan hanya pandai membaca
peluang usaha, Paidi juga sosok yang dermawan. Dengan keberhasilan yang ia
dapatkan ini, ia ingin seluruh petani di desanya berangkat umrah ke Tanah Suci
secara gratis. Untuk itu, Paidi memberikan bibit bubil (katak) sebanyak 30
kilogram gratis kepada petani.
Petani yang mendapatkan
bantuan bibit dari Paidi harus menanam dan merawatnya hingga bisa meraih panen
dalam jangka waktu dua tahun. Bila dihitung, panen porang dengan bibit bubil 30
kg bisa menghasilkan Rp72 juta.
“Uang hasil panen itu bisa
untuk memberangkatkan umrah pasangan suami istri. Tetapi kalau panen lebih dari
itu, sisa uangnya kami berikan kepada petani,” ujar Paidi, seperti dikutip
dari Kompas.com (19/6/2019).
Sumber : Link
No comments:
Post a Comment