Pada
masa dahulu terdapat dua orang kakak beradik dari Jogyakarta yang bernama
Brojoguno dan Brojomesti. Keduanya merupakan pelarian dari kerajaan Mataram
yang ketika itu hancur karena kedatangan Belanda yang mengakibatkan Mataram
terpecah menjadi dua yakni Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Mereka
mencari tempat perlindungan dan akhirnya membuka hutan di daerah ini.
Berkat kegigihan beliau, akhirnya terbentuk suatu komunitas masyarakat kecil
yang dapat bercocok tanam. Pada suatu hari komunitas masyarakat ini kedatangan
perampok. Sebagai pamong rakyat, Brojoguno bertindak untuk melindungi
masyarakatnya dengan mengacungkan kepalan tangannya (mengepalkan tangannya) ke
arah perampok, sehingga perampok tersebut takut dan lari. Kemudian si perampok
lari menuju arah selatan dan diam (meneng) disana hingga akhirnya tempat
berhentinya perampok itu dinamakan Muneng (sebuah dukuh di dusun Kepel). Dari peristiwa Brojoguno mengepalkan tangannyalah nama desa Kepel
diambil.
Adapun
sejarah estafet kepemimpinan desa Kepel dimulai pada masa kolonial Belanda yang
mengangkat seorang demang (kepala desa) pada tahun 1800-an yakni
Kerto Tembok (Tembok: nama dusun tempat beliau tinggal). Kemudian diteruskan
oleh putranya Rono Sentono. Pada tahun 1930-an (pada masa kolonial Jepang)
dipimpin oleh Samarto, pada masa beliau diadakan pembagian wilayah dusun.
Kepemimpinan
Samarto dilanjutkan oleh Harjo Sumarmo (dari masa kolonial Jepang hingga orde
baru). Pada tahun 1965, terjadi kekosongan pemimpin desa dan akhirnya Mbah
Sardi/Mbah Carik ditunjuk sebagai PJ (pemimpin sementara selama peralihan
kekuasaan yang dipilih oleh camat). Hingga tahun 1972 barulah dilantik Imam
Muhyar sebagai carik, pada tahun ini dirintis pembangunan balai desa untuk pertama
kali. Pada tahun 1992, Mbah Sardi ditujuk kembali menjadi PJ. Akhirnya pada
tahun 1994 Suwarno dilantik sebagai kepala desa, akan tetapi kepemimpinannya
hanya bertahan selama enam tahun. Pada tahun 2000 Mbah Sardi kembali dipilih
menjadi PJ selama satu tahun. Di tahun 2001-2010 Puji Utomo diplih untuk
menjadi kepala desa Kepel. Dan pada tahun 2010 hingga sekarang desa Kepel
dipimpin oleh Sungkono.
Tempat yang dianggap sakral. Pada malam
1 Suro sebagian warga berbondong-bondong ke tempat yang dianggap sakral
tersebut. Salah satunya merupakan arca yang terletak di dusun Giringan. Di
samping itu warga juga membawa makanan / sedekah sebagai salah satu wujud rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun ritual adat-religi seperti
selamatan telung wulan, piton-piton, resik deso, kirim do'a di
punden-punden yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Adapun
Desa Kepel dibagi menjadi 4 (empat) dusun, yaitu :
- Dusun
Giringan
- Dusun Kepel
- Dusun Dowo
- Dusun
Gligi
Secara geografis, desa Kepel adalah sebuah desa agraris yang terletak di
lereng pegunungan Wilis tepatnya di kecamatan Kare kabupaten Madiun. Desa Kepel
merupakan desa yang terletak di sebelah Timur 25 km dari kabupaten Madiun dan
15 km dari kecamatan Kare. Waktu tempuh ke Pusat Pemerintahan kabupaten sekitar satu jam
sedangkan lama tempuh ke Kantor kecamatan Kare sekitar setengah jam. Desa ini
mempunyai empat dusun, yaitu dusun :
Giringan RW.001 yang terdiri dari 7 RT
Kepel RW.002 yang terdiri dari 8 RT
Dowo RW.003 yang terdiri dari 6 RT
Gligi RW.004 yang terdiri dari 6 RT.
Kepel RW.002 yang terdiri dari 8 RT
Dowo RW.003 yang terdiri dari 6 RT
Gligi RW.004 yang terdiri dari 6 RT.
Uniknya, Pusat pemerintahan desa Kepel sendiri terletak di dusun
Giringan bukan di dusun Kepel dikarenakan letak geografis dusun Giringan berada ditengah-tengah Desa Kepel.
No comments:
Post a Comment